Perteduhanku

Sudah sebulan (lebih beberapa hari) aku di Yogyakarta, kota yang bagiku dulu hanya ada dalam cerita orang dan dongeng sejarah di dalam buku saja. Sebelum kesempatan ini, dalam perjalanan  hidupku yang terencana maupun yang tidak terencana, tidak pernah sekalipun mendapat kesempatan menginjakkan kaki di Jogja (penyebutan Y pada aksen Jawa Tengah menjadi seperti J?). Namun, aku juga tak terlalu mendambakannya (perbandingannya dengan Bali). Jogja dan semua cerita keistimewaannya tidak lantas membuatnya menjadi kota tujuanku untuk berlibur. Seakan selalu ada pertanyaan, "apa sih istimewanya?". Sekarang, jangan tanya kenapa aku akhirnya sudah sebulan ada di Jogja. Tahapan hidup yang tidak pernah ku rancang akhirnya menuntun aku sampai di sini, di kota yang penuh pohon tua.  

Aku tidak serta merta mencari-cari keistimewaan Jogja, ketika tanda panah pilihan hidupku tertuju padanya. Aku menanti kejutan. Aku senang dikejutkan dengan hal-hal yang tidak aku duga bisa terjadi dalam hidupku. Kepuasanku bukan pada pencapain yang berjenjang, melainkan pada penemuan yang berproses. Berjalanlah aku tanpa berbekal peta. Aku ingin mengenal Jogja dengan merasakannya. Menyusuri nadi-nadi jalan kota Jogja, membuatku tahu dari mana dan ke mana arah angin berhembus. Jika di kota lain hanya ada dua pilihan: belok kiri atau kanan, Jogja punya belok Timur, belok Barat, belok Utara, dan belok Selatan. Di utara tersaji Gunung Merapi yang berlekuk. Di selatan ada Parangtritis yang berombak. Di timur ada Candi yang bertalu-talu. Dan di barat ada senja yang berpendar. Aku tak mungkin salah jalan. Lagi pula, aku tak perlu takut salah jalan. Semua arah menuju pada keindahan yang berbeda. Semua ujung menjanjikan ketenangan. Ini tidak pantas disebut perantauan. Aku akan menobatkan Jogja sebagai perteduhan. 

Cerita tentang aku dan Jogja akan terus bertambah. Cerita indah, cerita sedih, cerita kecewa, cerita rindu, cerita gagal, cerita lelah, cerita lucu, cerita cinta. Tapi, di penghujung menjelang malam mulai merayap dan sore masih tercerap, aku akan berteduh di bawah payung senja, menggenapi semua cerita dengan kekaguman: maha indah karya sang Khalik, sang Perancang hidupku.



Aku jatuh cinta lagi...
pada keteduhanmu,
pada warna tak terdefinisimu,
pada hanya semburatmu,
pada kamu dan senja.
Mungkin khalik sengaja 
mendamparkan aku di sini,
untuk kita... 
kamu, aku dan senja.

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau