Halaman Pertama

Lahir di Papua dengan menyandang marga Manado yang diturunkan orang tua membuatku mengalami krisis identitas kronis. Namun, lima belas tahun makan dari hasil tanah di mana tali pusarku ditanam cukup membuatku berakar di sana. Tapi, pengujian akan identitasku belum selesai. Dengan kepindahan ke Makassar, tempat yang sangat jauh berbeda dengan 'tanah pusarku', aku mengalami krisis lagi. Belum sempat menemukan sasaran tepat untuk mencangkokkan diri, aku sudah harus merantau ke ibukota yang mentereng. Tahap pencapaian puncak hidup? Tidak bagiku. Ternyata, di ibukotalah aku memulai pencarian 'siapa aku' dengan menyusun setiap kepingan-kepingan ingatan dan secerap-secerap pengalaman. Dalam suatu proses membangun teologi di sebuah sekolah tinggi di Jakarta aku baru menyadari ternyata selama ini aku hanya hidup pada kulit demi kulit masyarakat yang unik-unik. Aku telah tercerabut dari akar.

Aku pecinta diary, agenda, surat-menyurat (sekarang sms, whatsapp, twitter, fb) puisi, prosa, cerpen, kata aneh yang berciri melayu, susunan kata yang indah dan rapi, irama dan suara dari tulisan. Tanganku senang bertemu pena dan selembar kertas. Tapi berjalannya waktu, pena dan kertas menjadi usang di makan teknologi. Untungnya, guratan pena oleh tanganku di atas kertas tak ikut dimakannya. Malah justru menjadi cerita baru ketika aku membacanya hari ini. Beberapa buku diary masih tersimpan.. Mengingatkanku pada akar.

Aku berpindah dari kota ke kota, dan dari rumah ke rumah.. Dalam catatanku aku pernah hidup di sembilan  rumah berbeda di tiga kota -jayapura, makassar, jakarta- ditambah satu asrama dan tiga kamar kos (kelak masih akan bertambah). Aku betul-betul terlatih untuk bisa hidup 'di mana saja'. Hasilnya baru bisa aku syukuri (kadang ada juga yang disesali) sekarang, Keterbukaan terhadap perubahan membuatku tidak terlalu ambisius dalam menjalani hidup. Malah terkadang, aku merasa seperti orang tak bermimpi. Hidup hanya untuk detik ini. Tapi, menurut Dee Lestari, detik ini adalah detik ini, kita tak mungkin menyeretnya hanya karena keindahannya. Oleh sebab itu, entah apa yang akan terjadi di depan, yang aku ingin hanya menyimpan cerita hari ini supaya kelak menjadi pengingat bagaimana Ia yang menciptaku tidak meninggalkanku, melainkan terus bekerja memelihara dan mencipta suka dan duka untuk membentukku lagi sehingga berakar di dalamNya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau