Persinggahan yang berkelanjutan

Aku tak tahu harus menamakan perjalananku ke Jakarta sebagai apa: pulang, rantau, singgah, liburan, atau apa? Pulang? pastilah bukan.. karena Jakarta bukan rumahku. Atau, rantau? Dua bulan lalu ketika aku masih bekerja penuh waktu sebagai pengerja gereja, aku masih bisa melabel aku sedang merantau. Tapi tidak lagi sekarang. Liburan? Ah, bukan pilihan kategori yang pas untuk masa di mana waktu semakin cepat berjalan. Mungkin liburan lebih cocok dipakai jika aku sedang ke Makassar, tempat orangtuaku saat ini berdomisili. Karena di tempat itulah waktu memang seakan berhenti. Jadi, judul yang akan kupakai untuk kedatanganku ke Jakarta kali ini jatuh pada 'singgah'. Aku sedang singgah di Jakarta untuk keperluan menyetok perbekalan perjalanan panjang. Layaknya kapal yang sedang singgah di sebuah pelabuhan. Analogi yang ku adaptasi dari catatan Coelho* tentang kapal dan tujuannya.


Sepulang dari Jayapura, aku membawa pulang 'grand design' masa depanku yang sudah 'diapprove' oleh 'para pemegang saham'. Yah, bisa dibilang begitu bukan? Aku dan hidupku, bukan hanya milikku. Aku dititipkan oleh Tuhan pada orangtuaku untuk membantuku menghidupi hidup. Mereka bertanggungjawab kepada Pemilikku, bukan untuk memberiku hidup yang 'baik', tapi untuk membuat aku 'baik' menjalani hidup seperti apapun. Merekalah 'pemegang saham' dalam hidupku. 'Saham' dalam bentuk nilai-nilailah yang mereka tanamkan dalam diriku. Aku harus bisa menghasilkan 'sesuatu' dari nilai-nilai itu. 'Sesuatu' adalah saat semua nilai-nilai itu sudah tersusun kokoh menopang kakiku untuk kuat berdiri dan berjalan ke arah pilihanku, menopang tanganku untuk menulis kisahku, serta menopang bahuku untuk menanggung resiko-resikonya.

Oia! grand designku sudah diapprove oleh mereka. Mereka sudah setuju, atau mungkin lebih tepatnya pasrah, jika aku memang memilih untuk tidak menjadi pendeta dan menjawab 'panggilan' untuk terjun ke tanah Papua. Beberapa langkah untuk menuju ke sana pun ku sampaikan kepada mereka dan mereka mendukung. Walaupun aku tau mereka belum terlalu paham atau mungkin tidak bisa memahami apa sebenarnya yang kurancang, tapi aku bahagia mereka konsisten dalam 'membebaskanku'. Kelak mereka akan tahu, kata 'terserah' mereka punya pengaruh sangat besar dalam hidupku. Sekarang, aku harus mengambil ancang-ancang untuk melangkah. Waktuku tidak terlalu banyak. Tapi yang harus kulakukan masih banyak sekali rasanya. Aku akan konsisten menulisnya satu demi satu jika aku berhasil melangkahkan kaki, aku harap. ya, dua kata kerja yang ada dalam satu kalimat dua-duanya aku harapkan sungguh terjadi.    

Aku tidak terlalu berpengalaman dengan kata kunci konsisten. Jika dilihat dari pembawaan sehari-hariku, orang akan tahu aku bukan orang yang konsisten. Aku bisa mengubah janji di waktu yang hampir mendekati hari H. Aku menjalani hari bukan dengan menjalani rencana yang kubuat pagi harinya. Aku bisa sangat marah pada suatu situasi dan atau pada seseorang, tapi tidak lama kemudian aku bisa berubah pikiran menyesali yang aku lakukan. Aku, dulu ketika harus menentukan pilihan untuk kuliah dan akhirnya mengambil teologi, salah satu alasanku adalah untuk menjadi pendeta. Tapi, ternyata dalam perjalanan studi dan proses pembangunan teologiku aku mengubah arah. Tapi, aku tidak tahu apakah itu yang disebut tidak konsisten? Bisa jadi itu indikasi-indikasinya. Aku tidak mengerti konsep konsisten yang biasanya dipakai orang untuk melabel seseorang konsisten atau tidak. Namun menurut kamus besar bahasa indonesia (online) konsisten punya dua arti, pertama tetap (tidak berubah-ubah), taat asas, ajek; kedua selaras, sesuai. Sepertinya, pengertian pertama lebih sering digunakan. Dan itulah mengapa aku tidak pernah menganggapku konsisten. dan tidak bangga dengan orang yang konsisten. Karena aku, sampai kapanpun, selama masih berproses dengan segala sesuatu di dunia ini, akan mengalami banyak perubahan. Hidup ajek tidak akan nikmat kupikir. Apalagi taat asas. Wah...jauh sekali dari prinsip 'out of the box' atau 'there is no box'. Mungkin yang pantas untuk tidak berubah adalah menulis perubahan-perubahan dalam hidup. :)

Aku tidak konsisten karena hidupku ini 'continue'. Berkelanjutan dari momen ke momen. Proses momen satu akan melahirkan momen yang lain. Setiap momen menjadi kejutan. Kejutan yang mengarahkanku pada tujuan dan makna hidupku... Aku harap. Momen Papua sebulan yang dihasilkan berjuta momen, melahirkan momen Jakarta yang akan berlanjut ke momen Jogja, aku harap. Dan diantaranya, ada bermilyar momen per detik yang bisa kupilih untuk diingat atau dilupakan saja. Sekarang, aku harus berjalan lagi. Sampai bertemu pada persinggahan berikutnya, karena persinggahan ini akan terus berkelanjutan dengan cerita baru dan harapan baru. Entah di Jakarta, atau di Jogja... Ah, bukan tempatnya yang penting. Tapi judulnya. Persinggahan. :)     
  

*The boat is safer anchored at the port; but that’s not the aim of boats.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau