Ironisme Zaman Sekolahan

Bulan Juni-Juli adalah bulan yang paling dinanti-nantikan ketika aku masih berseragam sekolah. Walaupun tidak ingin datangnya terlalu cepat karena ada ulangan umum yang siap mencuri setengah waktu bermain, tapi iming-iming liburan sepanjang hari jauh lebih menggiurkan untuk memanjatkan doa, "wahai hari, cepatlah berganti!" Walaupun tidak ingin berpisah dari teman-teman sekelas, tapi iming-iming hadiah karena naik kelas membuatku menanti-nantikan masa penghakiman (baca: pembagian hasil belajar). Ah, tiba-tiba saja aku merindukan masa itu... Tapi hidupku di masa sekarang, hampir sepuluh tahun berlalu melepas seragam putih merah, tidak jauh berbeda. Aku pun menantikan libur, menantikan selesainya hari-hari kerja, tapi sekaligus merindukannya.


Membalik lembaran gantungan di dinding yang berisi gambar pemandangan indah sebagai pemanis deretan angka yang sama persis dengan deretan angka pada lembaran sebelumnya, membuat nafasku sempat tertahan beberapa detik... Sedikit tanya pada diri sendiri, apakah hidupku juga bergulir bak angka-angka penunjuk waktu yang hanya berjalan datar sesuai urutannya dan hanya berwarna jika sedang libur? Tak bisa kuelakkan, hari tanpa harus memikirkan pekerjaan terasa jauh lebih ringan, namun tidak berarti lebih indah. Selayaknya sakit tak identik dengan sedih, layak pula aku mengatakan ringan tak identik dengan indah.  Mencoba mencari jawab, aku menelusuri jejak kenangan masa kecil... apakah ketika liburan aku selalu merasakan kesenangan yang membabi buta? Ternyata tidak seratus persen. Ironinya, aku benci tapi rindu pada kegiatan di sekolah. Untunglah aku masih sempat mencicipi masa kecil di mana belajar di atas bangku dan meja bukanlah satu-satunya pilihan. Untunglah aku masih menikmati dunia sebelum teknologi menjajah area bersosialisasi manusia. Untunglah aku hidup di tengah keluarga yang tidak menuntutku harus mendapat angka sempurna dalam setiap pelajaran dengan mengharuskanku les ini dan itu sepulang sekolah. Aku punya banyak waktu untuk belajar.
Belajar bermain...
belajar bersosialisasi...
belajar berdiskusi...
belajar peka...
belajar bersahabat...
belajar merasa bersalah dan meminta maaf...
belajar memilih...

Semua itu aku pelajari di sekolah, walau tak tertulis dalam jadwal pelajaran senin-sabtu. Pelajaran-pelajaran tersembunyi ini yang membuatku merindukan sekolah. 

Aku tak suka belajar matematika, tapi aku suka membuat patahan-patahan lidi untuk dipakai sebagai alat bantu hitung. Aku tak suka belajar menghafal pelajaran IPS, tapi aku suka melihat wajah-wajah para pahlawan yang terlihat sangat tulus dan berwibawa. Tapi IPA, tak ada sedikitpun bagian yang kusuka. Apalagi membedah kodok atau cacing, atau membayangkan ekor cicak yang putus dan tumbuh lagi. Tapi, aku kagum melihat teman-temanku yang bercita-cita ingin jadi dokter terlihat sangat serius menghafalkan bagian-bagian lidah yang katanya memiliki sensibilitas rasa berbeda-beda, yang bahkan sampai sekarang terasa sama saja bagiku... Aku tak suka duduk di bangku dan meja yang kaku, tapi aku suka bersekolah. Aku tak suka baris-berbaris di panas terik tapi aku suka bersekolah. Aku suka libur tapi aku juga suka bersekolah. Ironisme masa kecil yang ternyata terbawa hingga saat ini.

Aku suka bekerja, namun seandainya, bisa aku ingin libur kapan saja aku mau. Aku sering mengeluh karena memikirkan tugas-tugas yang menumpuk, namun keluhannya tidak jauh berbeda dengan ketika tidak ada tugas untuk membuatku merasa berguna. Sosok tidak pernah puas dan sulit bersyukur yang bersemayam pada diri setiap manusia menunjukkan eksistensinya melalui aku. Keluhan-keluhan tentang beratnya dunia pekerjaan yang berkecamuk dalam benakku, ingin kuselesaikan dengan jalan pintas. Tapi, tiba diujung jalan yang syukurnya bukan jalan pintas, aku gamang.


Bulan Juni-Juli akan menjadi masa bakti akhir untuk tugas-tugas yang sedang ku jalani saat ini. Tugas-tugas yang memang ku pijaki sebagai batu loncatan. Ada tugas yang sudah ku jalani dua tahun lebih, ada yang delapan bulan, ada juga yang hanya lima bulan. Agendaku sudah diwarnai dengan bulatan pada tanggal-tanggal tertentu dengan keterangan 'perpisahan'. Ada rasa lega yang telah menunggu di pintu perpisahan, tapi rasa sedih, ragu, khawatir, takut, sudah berbaris di belakangnya. Seperti layaknya seorang ayah yang menjemput kepulangan anaknya dari perantauan, sosok diriku yang lain dengan tidak sabarnya mengajukan pertanyaan, "apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?", Aku sudah menyiapkan jawaban penunda sekaligus penyamar rasa khawatir, takut dan ragu dari jawaban sebenarnya "Oh, ayah...ijinkan aku bertemu ibu sebentar untuk bercerita tentang lika-liku hidup rantauku."


Aku tahu, zaman sudah jauh berbeda sejak aku tinggalkan masa seragam sekolah. Aku tahu bahwa kalender gantung ataupun digital sudah tidak berfungsi hanya sebagai penanda hari telah berganti, tapi juga sekaligus pengingat bahwa usiaku berjalan (atau berlari) menuju batasnya. Tanggalan di kalender tidak lagi hanya berwarna hitam dan merah mengikuti ketetapan penanggalan solar, lunar, atau luni-solar. Sistem pengaturan waktuku didasarkan pada tahapan dan pencapaian hidup yang dinamis, dirancang sedemikian rupa tanpa terjerumus arus formalitas. Namun, aku, sang pengangum detik ini, sungguh tak ingin mencuri start memikirkan misteri hari esok atau berkubang pada keindahan hari kemarin. Keinginanku untuk menyelesaikan tugas yang telah dipercayakan tidak lantas membuatku mencuri berpikir betapa sia-sianya apa yang sudah aku jalani selama ini jika hanya untuk diakhiri. Aku mencintai semua yang aku jalani selama ini. Aku menyukai hari-hariku yang telah membentukku menjadi apa adanya aku saat ini. Aku, yang menantikan waktu untuk 'berlibur' dan mencapai prestasi 'naik kelas' akan merindukan masa-masa 'sekolah' dan 'belajar bersama teman-teman di kelas yang lama'. 
Demikianlah aku memaknai semua tugas yang sudah, akan dan terus aku hidupi. Semua batu loncatan ini akan ku kenang sebagai batu mulia yang indah... dan ku rindukan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau