Unbelieveable

Hanya satu alasan yang bisa membuat orang sepertiku selalu bahagia: melihat semua hal sebagai sesuatu yang mustahil namun ternyata bisa terjadi dalam hidupku. Itulah keajaiban.
Aku tak berusaha mendapatkannya, namun seperti angin yang sudah tahu arahnya, seperti itulah setiap hal secara ajaib terjadi pada hidupku. Aku memang bukan seseorang yang ambisius. Bukan pula pesimistis. Aku pun jauh dari realistis. Aku sendiri bingung memasukkanku ke kategori yang mana. Yang jelas aku adalah seseorang yang berjalan mengikuti kata hati. Apa yang membuatku 'bahagia' kuyakini sebagai jalan hidupku. Sayangnya, pengertian bahagia untukku tidak identik dengan senang. Aku bisa bahagia walaupun mulutku mengeluh. Aku bisa bahagia walau dikritik orang. Aku bisa bahagia walau semua tidak berjalan sesuai rencana. Aku bisa bahagia walau banyak teman meninggalkanku. Aku bisa bahagia walau harus keluar dari kenyamanan dan menjadi anomali. Aku bisa bahagia tanpa pekerjaan yang jelas dan tanpa jaminan hidup apa-apa. Aku bisa bahagia karena aku memilih bahagia. Aku bahagia karena melihat hidup sebagai keajaiban.

Seperti hari ini, aku bahagia karena akhirnya setelah 10 tahun aku bisa menginjakkan kaki kembali di tanah di mana tali pusarku di tanam. Seperti ada medan magnet yang kuat, aku selalu merasa suatu saat aku akan kembali ke tanah ini. Tapi aku tak pernah menentukan tahun 2012 tanggal 7 September aku akan menjejakkan kaki di bandara Sentani. Tidak pernah! Semua seperti angin yang berhembus mengikuti arahnya. Bandara Sentani tidak banyak berubah, tapi sudah jauh lebih bersih, lebih tertib. Namun mataku tak lepas dari porter-porter bandara. Hampir semua yang datang mengerubungiku untuk menawarkan jasa mengangkat barang adalah orang asli Papua. Walaupun dari perawakannya mereka berbeda-beda suku, tapi semua kulit hitam keriting rambut. Aku masih pesimis kehidupan orang Papua sudah lebih baik, seiring dengan pembangunan infrastruktur kota ini. 10 tahun lalu, kulit dan rambut sejenis mereka juga yang memenuhi bandara dengan baju orange bertuliskan nomor dan nama, masakan sekarang derajat mereka tidak naik?

Aku kembali ke Jayapura, ibukota Papua, yang terbilang jauh lebih maju daripada kota-kota lain di Papua. Aku masih fasih mengingat setiap telusur jalan dan sudut kota ini. Jalanan dan tata letaknya sama sekali tidak ada yang berubah. Yang membuatku merasa asing adalah ornamen-ornamen gedung pemanis kota. Semakin banyak bangunan tinggi, hotel-hotel berbintang, mall-mall pencuri mata pencaharian lapak-lapak tradisional, kafe-kafe nuansa modern. Dugaanku semua pembangunan ini dijadikan indikasi majunya suatu peradaban. Padahal, sebulan yang lalu, terjadi lagi kerusuhan massal yang dilandasi rasa curiga dan kebencian. Perang antarsuku atau antar-ras masih mewarnai kota sebesar Jayapura. Pembangunan infrastruktur tidak bisa dipakai sebagai ukuran, teman.
Ah, sudah berat sekali tema pengenanganku akan kota ini. Memang sudah waktunya aku mengganti kacamata sudut pandang. Romantisme masa lalu tentang masa anak-anak yang bahagia sudah harus diganti dengan idealisme tentang sesuatu yang berarti untuk saudara-saudaraku.

Aku memang sedang membangun cita-cita. Seperti halnya membangun rumah, aku sudah punya grand designnya. Sekarang, aku sedang mencari dan mengumpulkan bahan yang tepat. untuk proses ini, waktuku satu bulan. Adik dari ayahku berbaik hati memberi kesempatan untuk aku magang di NGO yang sedang dipimpinnya. Aku belum tahu bahan apa yang akan aku pakai, karena aku memang belum tahu apa yang akan aku kerjakan. Menurutku, kecocokan hanya bisa diukur jika sudah dijalani. Aku tak mau menerka-nerka. Grand design cita-citaku pun masih sangat mungkin untuk diubah-sesuaikan. Menyerahkan semua pada arah angin. Aku akan tetap melihatnya sebagai keajaiban. Sesuatu yang tidak aku percaya bisa terjadi padaku. Dan aku sudah menetapkan pilihan untuk bahagia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau