(Hanya) Sebuah Cerita

Ada sebuah cerita... tentang senja, hujan, dan pelangi... tentang cinta dan perjalanannya...

"Sebuah senja yang sempurna dibentangkan di langit. Senja itu kupesan khusus untuk perempuan yang sudah setahun tidak kutemui, perempuan yang telah bertahun-tahun lamanya mencintaiku. Senja itu persis seperti yang disukai perempuan itu, dengan langit berawan tebal yang tersayat-sayat, menyemburkan dari balik lukanya, warna getir yang melebihi geloranya cinta. Senja yang dilengkapi kepingan matahari merah berbentuk hati yang tepiannya bergerigi, tidak megah dan pongah. Hanya matahari kebanyakan yang membiarkan langit memilih mengenakan selimut kelabunya dan tak memaksa menyeruakkan warna-warna ke atasnya. Senja itu adalah kami. Aku sang langit, dia matahari. Begitu perempuan itu pernah berkata dulu.

Bersama senja itu aku memesan meja untuk berdua, ditemani sepotong laut dan suara ombak yang bagi perempuan itu teramat melankolis, bentangan pasir putih dengan dua pasang jejak kaki di atasnya membingkai. Aku sungguh ingin menjadikan saat ini sempurna, sebab aku tahu sudah terlalu lama aku membiarkan  perempuan itu menanti cintaku, terlalu lama membiarkannya percaya bahwa tak pernah ada yang tumbuh di dalam hatiku, bahwa apa pun yang dilakukannya padaku atas nama cinta tak pernah bermakna apa-apa. Ini saat yang tepat untuk membayar penantian perempuan itu, menebus harapannya yang kerap pupus oleh kesinisan dan ketidakpedulianku, melunasi utang-utang perasaanku kepadanya, mengenyahkan kepedihan yang telah lama memudarkan cahaya di binar-binar matanya.

Sekali lagi aku membaca waktu di pergelangan tanganku. Lima menit selepas janji pertemuan kami pukul 20.00. Aku ingat petugas yang melayani reservasiku mengatakan harga untuk sebuah langit barat berwarna merah lengkap dengan kepingan matahari terbenamnya pada pukul 20.00 sangatlah mahal, namun aku sama sekali tidak keberatan. Tak ada yang terlalu mahal bagi perempuan itu. Lagi pula, sekarang, berapa pun akan kubayar untuk menjadikan saat ini sempurna, sebab kinilah aku akan menyempurnakan penantian perempuan itu dan menjadikan impiannya kenyataan. Sekaranglah aku akan melahirkan dengan kata-kata setiap keping perasaanku baginya, hingga setiap percik keraguan yang mungkin pernah hadir dalam hatinya mati dan ia kembali menjadi perempuan yang utuh. Utuh, sempurna, seperti senja yang kupesan baginya.

Aku bertemu perempuan itu selewat lima tahun yang lalu, di sebuaha kota kecil yang dilalui jalur kereta api. Aku laki-laki tertutup, dan perempuan itu bukanlah perempuan yang kucari. Kehangatannya terlampau membuat risi, dan ia selalu menantangku untuk berpikir sekaligus merasa, menyeretku mengupas setiap lapis kebenaran hingga tidak menemukan apa-apa lagi di baliknya. Kebenaran, meskipun itu berarti ketiadaan, sepertinya tidak pernah membuatnya takut, tapi aku berbeda; aku sangat takut pada ketiadaan. Itu sebabnya aku lebih senang tidak mengorek dan mencari, lebih suka menutupi segalanya dan membiarkan kerak-kerak kehidupan mengeras hingga menciptakan lapisan tebal yang membungkus hatiku.

Yang jelas, sejak awal aku tak pernah mengundangnya, apalagi membiarkannya masuk. Ia seperti orang yang melintas di depan jendelaku, terkadang cuma lewat, terkadang melambai dan menyapa, terkadang berhenti sebentar dan mengobrol. Aku meladeninya dengan ogah-ogahan, penuh prasangka. Aku lebih sering tidak membuka jendelaku, dan kalaupun membukanya, tanganku selalu siap menutupnya kembali, tidak pernah sungguh-sungguh mementangnya. Tapi ia sepertinya tidak pernah memperhatikan semua itu. Ia datang sebagai dirinya sendiri, sarat warna, penuh kehidupan, tidak terusik. Ia membiarkan jarak mematut diri di antara kami, membiarkan aku sekehendak hati mengukur jarak itu di antara kami. Sepertinya ia paham betul, hanya dengan begitulah ia bisa mencegahku membangun tembok yang lebih tebal dan tidak membiarkannya masuk. Hanya dengan jarak itulah ia dapat meraihku, tidak terlalu dekat, tidak terlalu rapat, selalu berantara, dan bagiku artinya aman.

Mula-mula kusangka ia perempuan yang pintar. Ahli siasat, kurasa. Ia tahu persis kapan harus meraihku, dan kapan harus membiarkanku pergi. Perlahan namun pasti ia hadir sebagai perempuan yang mampu mengimbangi jiwaku yang rumit dan berjarak. Aku mengawasinya berusaha mengenali dengan sabar setiap reling gelap di dalam hatiku, tak pernah memilih pergi meskipun kerap aku mencoba mengusirnya dengan sikap dinginku. Aku mengawasinya berusaha bertahan menghadapi setiap luapan amarahku yang pahit, yang kerap merusak kebahagiaan dalam hatinya, mengejek setiap maafnya yang terulur bagiku. Semakin ia bertahan di sisiku semakin aku ingin terus menyakitinya, memberontaki setiap daun cinta yang dimilikinya bagiku. Ya, ya, aku tahu ia mencintaiku teramat sangat, dan bagiku itu tolol. Sangat tolol. Dan tentu saja, bohong. Aku tidak percaya cinta. Aku tidak percaya ada perempuan yang bisa mencintaiku termasuk perempuan ini. Tak ada perempuan yang bakal tahan selamanya menghadapi tembok-tembok yang kuhancurbangunkan terus-menerus di sekelilingku, tak ada perempuan yang bakal tahan terhadap kebebasan mutlak yang kucecar, tak ada perempuan yang bakal sanggup mencintai tanpa ingin memiliki. Aku? Aku sangat tidak ingin dimiliki. Aku tidak ingin dimiliki oleh siapa pun; Aku tidak ingin dimiliki lalu dibuang setelah pemiliknya merasa bosan.

Namun toh perempuan itu bertahan. Seperti apapun upayaku membuatnya menyerah, ia bertahan. Bila aku menantangnya dengan menunjukkan kebrengsekanku, paling-paling ia hanya tertawa, atau mungkin sekali-sekali menangis juga di belakangku bila aku sudah kelewatan, Entahlah, tapi yang terang selalu dan selalu ada, ia menemukan cara untuk menyelami setiap ketakutan lelakiku. Kemudian, selalu dan selalu terjadi, dibiarkannya aku memeluk kebebasanku sepuasnya, tak pernah ia mencoba merampasnya dariku.

Hingga suatu sore, ia mengatakan padaku, bahwa aku telah mencintainya. Sungguh lancang memang, dan sungguh bodoh. Ia, perempuan yang selama ini kuanggap pintar, ternyata sama saja dengan perempuan lainnya: menganggap aku bisa bertekuk lutut di depannya. Terlalu sombong. Aku memandangnya dengan tatapan melecehkan, dan ia, seperti biasa, hanya tertawa dan menepuk-nepuk tanganku.
"Tenanglah, itu bukan berarti kiamat."
Aku diam saja, terlalu marah dan tersinggung untuk mengatakan sesuatu. Ia membaca semua isyarat itu di mataku, lalu membuang muka dan menatap langit.
"Sudah berapa tahun kita saling mengenal begini? Lima?"
Aku masih membisu.
Ia menghela napas dalam-dalam. "Lima tahun. Waktu yang panjang untuk sampai ke titik ini, bukan begitu? aku mencintaimu. Apakah kamu mencintaiku? Sedikit saja? Apakah cintaku belum juga bisa mengenyahkan ketakutan di hatimu dan membuatmu percaya bahwa kamu akan baik-baik saja? Apakah cintaku belum juga bisa membuatmu yakin bahwa aku tidak akan pernah meninggalkanmu?"

Aku tidak menjawab. Kali ini kubiarkan ia bercakap-cakap sendiri. Aku masih sibuk membangun amarah, dan tembok dan jarak, dan keberingasan emosi yang entah mengapa, semakin sulit dibangkitkan.
"Coba lihat senja ini... bukankah sempurna, menurutmu? Begitu jelas menggambarkan diri kita--kamu dan aku. Bentangan langit yang kelabu tebal itu seperti dirimu, muram dan tertutup, begitu tebal dengan tembok-tembok yang kamu biarkan melindungimu dari luka dan kesediihan. Tapi kamu lupa, tembok-tembok itu memang telah melindungimu, tapi mereka juga memisahkanmu dari hidup dan kebahagiaan. Dari cinta, dari aku..."

Ia mendesah. "Aku ini cuma matahari sekarat yang jauh dari sempurna. Bertahun-tahun aku berusaha menembus awan tebal yang menjadi tembokmu dan menyeruakkan sinar-sinarku yang paling lembut dan paling tidak menyilaukan ke baliknya, dan aku tahu aku berhasil. Aku berhasil mengetahui apa yang kamu sembunyikan di balik sana, aku mengerti seperti apakah wajahmu yang sesungguhnya..." Ia tersenyum samar, tapi kemudian senyumnya redup. "Hanya saja, aku lupa, mungkin kamu memang tidak ingin dimengerti, tidak ingin diraih, tidak ingin dikenal. Mungkin kamu memang memilih untuk tidak dicintai. Dan sungguh tolol terus berkeras bertahan di sini dan menyaksikanmu menghapus warna-warna kehidupan di wajahku sendiri."

Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku sangat mencintaimu, percayalah. Dan aku takkan pernah meninggalkanmu, asal saja kamu mau memintaku tinggal. Aku butuh sedikit saja pertanda bahwa kamu mencintaiku, bahwa cintaku memiliki sedikit saja makna bagimu..." Ia menatapku lekat-lekat, namun aku tak sudi memandangnya. Aku sibuk menyergah, menyangkal, dan berperang dengan diriku sendiri. Aku tidak pernah belajar membaca harapan di mata dan hatinya sehingga tidak mengenalinya.

"Baiklah. Tidak ada gunanya bagiku untuk tinggal lebih lama. Aku akan pergi. Aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa begini terus..." Dan ia pun berlari mengiris hujan yang sekonyong mengguyur pergi senja itu.

Namun kepergiannya merupakan jenis yang menyisakan penyesalan. Dan kesadaran bahwa ada sesuatu yang hilang. Kepergiannya membuatku akhirnya mengakui bahwa aku juga memiliki cinta baginya, bahwa aku tidak sanggup hidup tanpa dirinya, bahwa aku akan belajar meruntuhkan tembok mana pun, menghapus jarak sebesar apa pun, dan percaya pada cintanya. Cintanya padaku.

Tapi pada dasarnya aku ini memang lelaki pengecut. Kesadaran itu tidak begitu saja membuatku mencarinya. Aku masih harus memunguti keberanian di antara hari-hari yang datang-pergi usai kepergiannya. Aku masih menunda waktu untuk merangkainya, sementara rindu semakin sering muncul seling-menyeling dengan kesendirian yang senyap. Setahun lamanya aku menanti hingga keberanianku akhirnya tanak, dan ketika suatu hari bekalku cukup, aku pun menelpon dan mengajaknya bertemu.

Dari suaranya, aku tahu ia sama senangnya denganku mengetahui rencana pertemuan ini. Dari suaranya, aku mengenali kerinduannya bagiku. Dari suaranya, aku mendapati ia masih mencintaiku. Dari suaranya, aku tahu menyediakan senja ini baginya merupakan langkah yang tepat, senja yang dengan sempurna menggambarkan aku dan dia, senja yang...
"Maaf, aku terlambat." Suaranya menyentakku, membuatku bergegas berdiri menyambutnya. Aku mengenali wajahnya, wajah perempuan yang penuh cinta yang serta-merta menyemikan kuncup-kuncup harapan di dalam dadaku. Ia tertawa dengan bibir dan matanya, binar-binar di sana menggoda jantungku agar berdegup lebih cepat lagi. Ia duduk. Aku duduk. Ia mengulurkan tangannya dan menyentuhku lembut, senyum tak surut dari wajahnya.
"Apa kabar?" suaranya hangat.
"Baik, baik. Kamu?"
"Tak bisa lebih baik." Ia mengedarkan pandang. "Tempat ini indah sekali."

Sambil menahan napas aku menunggu ia memuji senja sempurna yang kupesan untuknya. Tapi pujian itu tidak muncul dibibirnya. Atau mengintip di matanya yang mengilat senang. Ia bahkan seperti tidak menyadari keberadaan senja yang telah menyihir tempat ini.
"Aku memesan senja ini khusus untukmu."
"Oh ya?" Sekali lagi ia mengedarkan pandang dan manggut-manggut.
"Senjamu. Senja kita..."
"Indah, indah..." Kata-katanya tanpa makna.

Aku menatapnya. Apakah ia masih marah padaku? Apakah ia masih menyimpan kekecewaan itu dalam hatinya? "Aku... ada yang ingin kusampaikan padamu..."

Ia menatapku, senyum masih saja mewarnai wajahnya. "Aku juga." Nadanya sehangat matahari barat yang kukenal.

Jantungku tambah ngebut. "Kalau begitu, kamu dulu..." Hatiku membangun gedung-gedung yang mencakar-cakar langit harapanku.

"Aku jatuh cinta pada hujan," bisiknya. "HUjan tebal yang luruh rapat hingga tidak menyisakan pandangan, yang membuatmu takut berlari menembusnya, takut di seberang sana tak ada apa-apa yang menantimu. Takut kamu tidak akan pernah berhasil mencapai tepiannya dan terperangkap di tengah sengatan airnya yang menusuk kulit dan membutakan mata."

Ia tersenyum, tangannya menggenggam jemariku begitu erat. "Dan kamulah yang membuatku jatuh cinta pada hujan itu. Selalu kamu. Selalu kamu..." Tatapannya pelan-pelan melembut.

Aku benar-benar tidak kuat lagi, bisa-bisa aku kena serangan jantung ditatap seperti itu. Tapi sungguh, aku tidak mengerti maksud perkataannya, Aku sudah memesan senja yang sempurna baginya, tapi dia malah bicara tentang hujan tanpa sedikit pun melirik senja mahal yang sudah khusus dibentangkan baginya di langit barat pukul 20.00 ini. Tiba-tiba saja aku merasa konyol. Salah strategi. Tolol.

"Tapi aku sudah memesan senja ini untukmu. Kalau begitu aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu kamu sudah tidak menyukai senja. Kamu sekarang menyukai hujan..."
"Dan semuanya karena kamu..." katanya manja.
"Kok bisa?" Aku masih juga tidak mengerti. Darahku terus berdesir-desir melihat wajah perempuan di hadapanku. Wajah perempuan yang sedang jatuh cinta.
"Ya bisa dong. Kamu punya pengaruh yang besar dalam hidupku. Sejak dulu..." Ia menatapku dalam-dalam, suaranya setengah menerawang.

Aku benar-benar tidak tahan lagi. Bergegas kualihkan mataku seraya menelan air liur. "Bagaimana aku bisa membuatmu jatuh cinta pada hujan?" tanyaku parau.

Perempuan itu tertawa renyah. Ribuan bintang bermain-main di bola matanya. Menggodaku.
"Kamu ingat pertengkaran terakhir kita sebelum aku pergi dulu? Setahun yang lalu?"

Ucapan perempuan ini membuat kelima indraku bangun dan beramai-ramai mengendus kegetiran di balik suaranya. Nihil. Aku menghela napas lega, lalu mengangguk pelan.

"Hujan turun deras sekali. Di luar, dan di dalam sini." ia menunjuk dadanya. "Berhari-hari tebal, rapat, dan menusuk, dibungkus kabut yang membuatku buta. Entah berapa lama aku menunggu hujan itu berhenti. Aku menunggu dan menunggu, setiap hujan itu semakin tebal mengimbangi ketakutanku sendiri.

"Meninggalkanmu bukanlah sesuatu yang mudah, kamu tahu/ Lima tahun lamanya aku membangun harapanku dengan mata, pikiran, telinga, dan hati yang terbuka. Lima tahun lamanya aku menciptakan senja kita, tahu benar apa saja yang membuatnya sempurna. Betapa mudahnya berjalan ketika hati boleh mengandalkan segenap indra dan pikiran..." Ia tersenyum. "Seperti itulah rasanya berjalan denganmu, begitu mudah, begitu jelas, begitu dapat ditebak... Tapi toh, tidak selamanya semua yang mudah, yang jelas, dan bisa ditebak itu pasti sama hasilnya dengan perkiraan kita, ya kan? Setidaknya hubungan kita, dan itulah yang membuatku hancur, dan kehabisan nyali.
Aku tidak percaya lagi pada instingku. Aku tidak percaya lagi pada kekuatanku. Aku tidak percaya lagi pada hatiku. Apalagi cintaku. Sebab nyatanya cintaku tak berarti apa-apa... Lalu hujan itu datang, begitu tebal seperti ketakutanku, begitu pekat seperti kesedihanku, begitu tak bertepi seperti keputusasaanku...
Aku takut, sangat takut... Mana mungkin aku sanggup menembus hujan, sedang matahari pun tak bisa memateraikan kepastian, ya kan?" Ia menatapku lekat-lekat. "Hingga suatu hari aku memberanikan diri berlari menembusnya. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak peduli bila terperangkap di dalamnya. Aku tidak peduli bila aku tidak menemukan apa-apa di seberang sana, aku tidak peduli... aku hanya tidak bisa terus menerus menunggu tanpa mengetahui apakah aku akan berhasil atau gagal. Aku tidak boleh kalah oleh ketakutanku, kesedihanku, keputusasaanku. Aku tidak boleh kalah oleh kekecewaan, apalagi ketidakpastian. Aku harus terus melangkah. Dan tahukan kamu apa yang kutemukan di balik selimut hujan yang tebal itu? Tahukah kamu?"

Aku menggeleng pelan. Aku tidak pernah tahu apa-apa. Aku terlalu sibuk dengan ketakutanku sendiri.

"Di ujung hujan itu aku menemukan seorang lelaki, dan di tangannya tersemat bagiku sebentuk pelangi yang sangat indah, mungkin lebih indah daripada pelangi pertama."

Perempuan itu tersenyum. Senyum perempuan yang sedang jatuh cinta. Tiba-tiba ia bukan lagi matahari merah berbentuk hati yang tepiannya bergerigi, matahari yang membiarkan langit memilih mengenakan selimut kelabunya dan tak mencoba memaksa menyeruakkan warna-warna ke atasnya.

Kutelan kekecewaanku dengan susah payah. Harapanku telah rata dengan tanah. Aku tahu, aku masih saja langit yang tersayat-sayat itu, tapi langit ini tidak lagi akan pernah memiliki senja yang sempurna di sebelah baratnya, sebab mataharinya telah pergi menyongsong hujan."

Hanya sebuah cerita yang ditulis kembali...  

(Senja Yang Sempurna oleh Rosi L. Simamora dalam kumcer Autumn Once More)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau