The Art of Possibility

Sudah hampir selusin draft tersusun rapi di kotak simpanan tulisanku, draft yang tak pernah bisa kulanjutkan karena telah tertutup dengan cerita-cerita baru yang kutemui seiring hari berlanjut. Aku bukan pengagum cerita fiksi, jadi aku tak bisa membual dan mengarang cerita yang bukan hidupku. Aku bukan pula penikmat cerita roman yang terbuai dengan keajaiban cinta dan lupa akan panasnya matahari atau dinginnya salju. Aku hanyalah seorang perempuan yang tertegun-tegun pada cerita keseharian yang menyajikan cerita tentang angin yang berhembus, matahari bersinar, bunga bermekaran, daun berguguran, tanah berkerak, dan bulan menunggu gilirannya menampilkan diri. Tapi, untuk menceritakan keseharian, siapa pun dia, membutuhkan hidup bebas tanpa terkungkung rutinitas. Lihat saja penulis-penulis hebat itu, mereka menguasai waktu dan hidup mereka sepenuhnya. Mereka menunggu kapan angin menghempas tangan mereka dan mengajak mereka menjentik-jentikkan jari di atas papan kotak beraliran listrik. Mereka duduk dan diam menunggu. Mereka pasti menggunakan prinsip yang sama seperti Mr. Lee di film Karate Kids, bahwa "diam dan tak melakukan apa-apa adalah dua hal yang berbeda". Mungkin keluhan sudah menjadi bagian nafasku... Jadi maafkan aku jika harus memulai catatan pertama di tahun ini dengan mengeluh.


Setahun ini hidupku memang penuh dengan rutinitas. Layaknya mahasiswa yang sedang mencari gelar entah demi apa, aku harus merelakan hidupku diatur oleh jadwal kuliah, jadwal mengerjakan tugas, jadwal pengganti kuliah yang mendadak, broadcast message dari bagian akademik tentang kegiatan yang tidak pernah ada di jadwal akademik tapi diwajibkan untuk hadir, dan pesan-pesan singkat lain yang tidak bisa ku jawab dengan "maaf, saya sedang menikmati matahari terbenam". Aku sudah menyerahkan hidupku sepenuhnya pada kehidupan tertata dan terprogram demi mencapai -yang kata orang banyak- 'strata sosial yang lebih tinggi, Master of bla bla bla (tentang pencapaianku ini akan kuceritakan di lain kesempatan). Aku sudah mengikrarkan janji setia pada jajaran pengelola program studi untuk terus bersama dalam susah maupun duka, dalam pahit atau getir, mampu atau tidak mampu, mau atau tidak mau, kesal maupun dengki. Tapi sebenarnya, bukan karena para dekan atau ketua prodi -yang hanya mengenalku dari wawancara sepuluh menit hanya untuk memastikan aku akan siap bersaing menjadi yang terbaik di ajang bergengsi perebutan indeks prestasi kumulatif tertinggi tingkat universitas negeri- aku harus bertahan dan menelan semua pahit-getir-dengki-kesal ini. Sama halnya dalam sebuah pernikahan di mana banyak saksi yang melihat dan ikut merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan dua insan yang berikrar janji setia, begitupun dalam kasusku. Ketika di pintu masuk jalan ini aku berikrar bahwa aku akan bahagia di jalan yang aku pilih, saksi-saksi hidupku, yang bertanggung jawab atas kebahagiaanku, yang rela memberikan apa saja untuk memastikan aku bahagia walaupun mereka belum tentu bahagia, masih ada di sana, di posisi mereka, dengan tatapan yang sama, harapan yang sama, namun dengan kekuatan yang pastinya sudah berkurang termakan usia. Demi merekalah aku harus bertahan pada pilihanku untuk meyakinkan mereka aku bahagia dan tak membuat mereka terbunuh oleh penyesalan akibat tak bisa melihatku bahagia. Demi mereka aku harus menemukan alasan kebahagiaanku.  

Dan sebagaimana aku selalu menemukan sesuatu di balik sesuatu, aku menemukan kebahagiaanku di luar rutinitasku, seperti halnya aku menemukan pelajaran di luar jam kuliahku. Aku bertemu kesempatan-kesempatan langka. Aku bertemu banyak pilihan, yang menurut banyak orang seusiaku seharusnya kami sudah tidak perlu memilih lagi, entah karena mereka takut memilih atau karena mereka menyukai konsistensi. Tapi untukku, pilihan adalah lambang kebebasan. Pilihan adalah The Art of Possibility. Bagiku tidak ada pilihan yang salah. Hanya ada memilih yang paling tepat di antara pilihan-pilihan yang benar. Sepertinya, orang-orang seusiaku merasa soal ujian dengan model pilihan ganda sudah terlalu mudah dan tidak menantang, padahal memilih yang paling benar di antara pilihan benar adalah sesuatu yang sulit bagi orang dewasa, karena orang dewasa kerap ingin semuanya. Orang dewasa takut memilih karena takut menyesal. Orang dewasa takut menyesal karena orang dewasa tidak mau membuang satu saja kesempatan untuk bahagia seperti yang ia harapkan. Orang dewasa ingin bahagia dengan sempurna. Orang dewasa tidak tahu caranya berbahagia dengan menikmati apa saja yang ada dihadapannya, dikekiniannya. orang dewasa selalu sibuk tentang kemarin dan besok. Orang dewasa tidak pernah bisa bersenang-senang hanya untuk hari ini. Dan aku, di sini, saat ini, sedang menikmati jiwa kekanak-kanakanku, bersenang-senang menikmati hari ini, detik ini, meneguk kebahagiaan sedikit demi sedikit, walaupun tak jarang berisi tangisan dan keringat, yang berujung keletihan dan senyum puas, tanpa penyesalan sedikit pun...

Hanya sedikit keluhan-keluhan kecil seperti layaknya daun yang gugur dari pohon setiap harinya.  Maklumi saja..

Suatu akhir minggu di Jogja, saat menunggu senja. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau