Hitungan Matematis yang tidak Matematis

Dua bulan bahkan lebih telah berlalu sejak terakhir aku menulis... aku rindu menulis... aku rindu mencari-cari inspirasi dengan membaca semua novel yang ada atau menonton film-film yang aku suka... aku rindu berleyeh-leyeh di depan laptop bututku ini. Bahkan jika diperhitungkan secara ekonomis, iuran layanan akses internet sepuasnya yang aku bayar setiap bulan bersama dengan uang kosan hampir terbuang sia-sia selama dua bulan ini. Mengerjakan sesuatu yang dikejar deadline seperti yang sedang kulakukan sekarang menyita hampir lima puluh persen waktuku. Lima puluh persennya lagi sudah menjadi jatah di pekerjaanku yang sebelumnya. Maka, jika masih menggunakan hitungan matematis, tidak ada yang tersisa untukku, untuk kesenangan-kesenanganku. Pulang bekerja dari tempat 2, harus lanjut lagi ke tempat 1. Jika tidak harus pergi ke tempat 1, maka aku akan melemburkan diri mengerjakan apa yang bisa dikerjakan di tempat 2. Jika tidak begitu, akan lebih lama masa kerjaku di tempat 2. Ini bukan keluhan, saudara-saudara.. aku hanya sedang mencoba memetakan waktu dan kesibukanku. Tapi jika terbaca seperti keluhan, maklumilah seperti memaklumi debu yang harus terbang karena tertiup angin :)


Tak terasa, hari ini hari terakhir sebelum menginjak pertengahan tahun 2012. Padahal seperti baru kemarin aku belajar merangkak, seperti baru kemarin main lompat tali dengan seragam  putih merah, seperti baru kemarin aku jatuh dari pohon jambu sampe menghebohkan sekompleks (romantisme masa lalu yang sudah agak terlalu usang). Aku percaya, jika waktu terasa bergulir cepat, artinya aku menikmati hari dan segala isinya yang aku jalani. Namun, jika waktu terasa seperti onta yang sedang berjalan di padang gurun, dan waktu yang anda nanti-nanti tak kunjung tiba, hidup anda sedang dalam masalah. Saran saya segera hubungi Mario Teguh atau nonton shownya. Semua masalah akan dimudahkan, hanya dengan pemikiran yang sebenarnya nenek-nenek pikun pun tahu. Hanya masalah tak mampu menyusun kalimatnya sehebat Mario Teguh. Seperti apapun aku mengeluh ketika hari berjalan, tapi tiba di penghujung hari, aku selalu merasa pemandangan di belakangku sungguh indah dan tak ada satupun yang ingin kulupakan.

Contohnya kejadian beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 27 Mei. Sebuah sms yang tidak bisa dikategorikan short, aku terima. Kata-kata yang tersusun, bak kata yang keluar dari mulut Mario Teguh yang asal nyerocos tapi disusun rapi, membuat mataku memberi respon yang sangat spontan, yang untungnya bisa kukendalikan. Pertahananku sempat goyah. Aku sempat hampir mempercayai kata-kata yang sebenarnya bertujuan menjatuhkanku. Aku hampir yakin apa yang dikatakan oleh pengirim sms itu benar. Aku hampir menghancurkan visi yang sudah kubangun 2 tahun lebih dengan mempercayai sebaris kalimat dalam sms tak bertitik dan berkoma itu. Aku tertunduk dengan pandangan kabur akibat genangan yang menandakan pertahanan diriku goyah sudah. Namun, setelah kubaca dan kutelaah dengan akal sehat yang susah sekali dicari dalam keadaan seperti ini, pesan pendek tersebut tak lebih hanya berisi sanjungan sang pengirim sms atas dirinya sendiri dengan cara merendahkan orang lain, (sayangnya atau untungnya, korbannya kali ini aku). Sang pengirim sms ternyata hanya manusia normal yang sedang mencari eksistensi.

Terlepas dari masalah si korban eksistensi itu, secara singkat dapat kusimpulkan bahwa ada ketidakpahaman atas profesi dan pekerjaan yang sedang kugeluti. Aku memahami betapa sulitnya 'awam' memahami profesi yang berkaitan dengan dua hal yang sudah kadung didikotomikan sedemikian rupa, seolah keduanya seperti punguk dan bulan yang mustahil saling memiliki. Hmm.. harus menggunakan istilah apa yang tepat untuk menggambarkannya? pelayanan versus pekerjaan? rohani versus duniawi? dunia versus akhirat? Sungguh tak bisa dilogikakan. Tak bisa dipungkiri, dunia teologi jugalah yang telah melahirkan dikotomi menjijikkan seperti ini. Seolah dunia sama sekali tidak memiliki sifat rohani, dan begitu sebaliknya. Doktrin 'dunia adalah musuh rohani'-lah yang melatarbelakanginya. Bahkan sampai soal 'profesi' pun ditarik garis batas tegas yang entah diukur menggunakan apa, oleh orang-orang yang membangun teologi 'rohani versus duniawi' ini. Satu hal baru yang aku temukan dari pengalamanku ini, bahwa ada yang mengartikan pekerjaan adalah segala sesuatu yang dikerjakan karena dibayar, dan pelayanan adalah segala sesuatu yang dikerjakan karena panggilan tanpa dibayar. Menarik untuk dijadikan bahan Penelaahan Alkitab (PA).

Tapi, aku sedang tidak tertarik untuk melakukan PA. Kesimpulanku, yang entah sementara atau mungkin juga tidak akan berubah setelah melakukan PA adalah: uang tidak bisa dijadikan ukuran untuk apapun di dunia ini, baik rohani maupun duniawi. Poinku adalah panggilan. Pekerjaan apapun yang kita lakukan pasti ada unsur 'panggilan'. Bakat, minat, talenta, menurutku itulah panggilan. Dan jika semua pelayanan identik dengan panggilan, maka semua pekerjaan yang kita lakukan berdasarkan panggilan adalah pelayanan. Siapa yang kita layani? Sang Entah yang mencipta kita dengan segala bakat, talenta, minat. Lantas bayaran? Bagi orang yang memaknai pekerjaannya sebagai profesi tau betul apa makna dari bayaran. Bayaran tidak lebih dari apresiasi atas apa yang dia kerjakan, yang tanpa bayaran-pun dia tetap menikmati apapun yang ia kerjakan karena itulah profesinya, panggilannya. Tidak ada yang lebih indah daripada melalukan sesuatu yang disenangi oleh diri sendiri dan sekaligus bermanfaat bagi orang lain. Tapi orang yang belum memahami tentang profesi, mengerjakan pekerjaan adalah kewajiban dan mendapat bayaran adalah hak. Tuntutan di atas tuntutan. Namun, menurutku profesi tidak terbatas hanya mungkin ada di gereja, tempat di mana sering terdengar jawaban 'karena panggilan' atas pertanyaan-pertanyaan 'mengapa mau menjadi...?". Di dunia pekerjaan apapun, prinsip 'profesional' juga dipakai. Tidak sedikit pekerjaan duniawi (meminjam istilah dikotomi menjijikkan di atas) yang digeluti sebagai profesi oleh orang-orang yang tau betul apa panggilannya dan untuk apa ia melakukan pekerjaan tersebut, bukan semata-mata untuk uang. Dengan prinsip tersebut, profesi di dalam gereja tidak lantas salah jika diberikan apresiasi, tanpa tuntutan di atas tuntutan. Hak dan kewajibannya adalah menjalani tugas profesinya. Hanya itu. Apa yang akhirnya diperoleh adalah 'hadiah', anugerah, kasih karunia, bukan tujuan ataupun pendorong. Hanya 'hadiah' yang tak boleh diduga-duga, hanya terima dan syukuri. Tugas apapun yang dikerjakan karena panggilan, yang aku sebut profesi, tidak bisa dihitung-hitung dengan angka gaji atau upah. Salah besar jika berpikir uang bisa membayar apa yang telah dilakukan untuk sebuah profesi.  Yang bisa membayar adalah kepuasan hati dan makna hidup, penegasan akan pernyataan "aku tahu maksud mengapa aku ditempatkan di dunia ini".

Kesimpulanku, sesuatu yang dikerjakan dengan hati tidak akan mungkin sanggup dihitung secara matematis dan ekonomis. Nominal uang berapapun
tak sanggup membayarnya. Semua ini pandangaanku.. prinsipku.. yang tidak harus diimani dan diamini. Cukup dimengerti.



Untuk seseorang yang mungkin belum mengerti.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau