jangan bodoh mencari jodoh

Judul tulisan ini tak sengaja saya dapat ketika sedang mencari-cari buku di salah satu toko buku online. Saya belum sempat menelusuri isi buku karya Brili Agung Zaky Pradika tersebut, tapi ijinkan saya meminjam judul ini untuk menuliskan preposisi tersendiri terhadap 'judul'nya, tanpa bermaksud sama sekali mengusik isi buku tersebut. Hanya meminjam judul yang menarik itu... (ijin ya, mas Brili..)
Jujur, sampai saat ini, aku belum bisa memahami apa yang terjadi pada proses cinta pada pandangan pertama. Kepada perkembangan zaman dan segala pemikiran yang ada aku minta maaf, karena sampai saat ini aku termasuk orang yang heran dengan mereka yang mengatasnamakan cinta pada pandangan pertama lalu memutuskan untuk menikah setelah dua bulan menjalin hubungan. Aku tak sedang berusaha menyederhanakan cinta. Aku sangat mengagungkan cinta dengan seribu satu caranya menangkap setiap insan untuk menjadi korbannya. Tapi, menurutku, cinta pada pandangan pertama tak lebih dari daya kerja otak yang menstimulus hormon-hormon tertentu, yang cara kerjanya tidak jauh berbeda dengan cara kerja ekstasi. Tak butuh usaha keras untuk jatuh cinta, karena itu alamiah. Bahkan setiap haripun kita bisa 'jatuh cinta' dengan orang berbeda karena parasnya, kepribadiannya, kepemilikannya. Namun, yang perlu diuji adalah setelah efek 'pil ekstasi jatuh cinta' itu habis, then what, why, how
Ada juga beberapa teman yang kukenal 'buru-buru jatuh cinta' tidak lain karena alasan 'konstruksi sosial'. Persoalan umur-lah, persoalan sudah dikejar tuntutan orangtua dan handai taulan-lah, persoalan image 'ga laku'-lah, persoalan takut diomongin-lah, persoalan jomblo itu ga keren, dll. Cinta menjadi sangat sepele. Cinta menjadi sangat murah. Cinta menjadi terlalu banyak alasan. Padahal cinta yang murni kan tidak memerlukan alasan? Apalah artinya cinta jika hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri? Padahal, cinta adalah memberi, bukan? Tapi tanpa sadar, kita mencinta hanya karena memikirkan persoalan-persoalan kita sendiri, persoalan yang tidak ada hubungannya dengan saling mencinta.

Ekstrem lainnya adalah memberi semua yang kita miliki demi cinta. Bisa jadi karena dipengaruhi faktor 'remeh-temeh' di atas, kita melakukan segalanya untuk mempertahankan apa yang kita miliki saat ini, semata-mata untuk menyelematkan diri kita, namun dengan dalih mencinta tanpa syarat. Menyederhanakan cinta akan membuat aku dan kamu mudah terjebak dalam bodohnya mencari jodoh: menutup mata dan telinga atas apapun yang berkaitan dengan keburukan pasangan kita. Proses berelasi yang terjadi bukanlah proses 'integrasi' tapi 'insert-asi' (ada ga tuh arti katanya..). Bukan dua hal yang berbaur menjadi satu, melainkan hanya satu pihak yang masuk untuk mengikuti, menjadi, melengkapi pihak yang lain. Demi cinta yang katanya tanpa syarat kita melupakan diri sendiri. Atas nama cinta kita melupakan teman-teman kita. Karena cinta kita meninggalkan segala hobi kita. Untuk cinta kita mengorbankan cita-cita kita. Cintakah itu namanya kalau sampai membunuh diri kita sendiri demi menghidupkan orang lain? Adakah cinta yang demikian murninya sampai menenggelamkan diri sendiri? Lalu di mana porsi cinta untuk diri sendiri? Aku tak yakin itu cinta murni. Aku tak percaya itu cinta tak bersyarat. Mungkin itu cinta yang pasrah. Cinta yang membunuh, cinta yang menggerogoti akal sehat. Tapi, setahuku, cinta itu tidak jahat. Cinta itu membebaskan, cinta itu menumbuhkan, cinta itu mendidik, cinta itu memperbaiki, cinta itu melengkapi.


Tapi, mungkin ada benar juga, cinta itu sejajar dengan kokain yang berefek candu tapi mematikan... Cinta tak lebih indah dari barang laknat sejenis ekstasi yang memberi kenikmatan bersifat semu... 
Ah, kalau demikian adanya cinta, untuk apalah dunia mengagung-agungkan cinta? Cinta memang agung, tapi manusia-lah yang menyederhanakan cinta hanya untuk kepentingannya. Cinta yang luasnya mengalahkan langit bumi hanya diambil bagian-bagian tertentunya saja yang sedang ‘dibutuhkan’. Kita ‘memanfaatkan’ cinta, mengeksploitasi cinta, menyalahgunakan khasiat cinta dengan mengeyampingkan sisi-sisi lain dari cinta yang menurut kita tidak sesuai dengan kebutuhan kita. Jika demikian, maka cinta tidak lebih dari pil ekstasi. Kita hanya mencarinya untuk memberi efek kesenangan, tapi setelah efeknya habis, penyesalan dan kutukan kita limpahkan pada cinta. Cinta jadi kambing hitam atas setiap penderitaan yang kita alami.

Memang tidak mudah mencinta, makanya jangan terlalu mudah bilang jatuh cinta, jangan terlalu murah ‘menghambur cinta’ hanya demi mengikuti konstruksi sosial yang terlanjur memiskinkan makna mencinta. Perkara 'bodoh mencari jodoh' menurutku bukan soal salah pilih orang untuk dijadikan jodoh, tapi soal mengapa kita mencari jodoh. Semakin banyak jawaban yang kita utarakan, semakin bodohlah kita dalam soal mencari jodoh. Mencari jodoh cuma perlu satu alasan, yaitu karena kita telah siap membagi dan menerima cinta dengan semua dimensi di dalamnya. Dan jika kita sudah siap, serahkan semua pada cinta untuk 'membentuk' kita tanpa membuat kita harus menjadi orang lain, bertindak-tanduk demi mencari perhatian atau membuat penasaran lawan jenis, dan berlembar-lembar kertas berisi daftar "do and don't" untuk meluluhkan hati lawan jenis. Proses yang hampir mustahil instan-lah yang akhirnya membuat kita akan mampu menulis sendiri daftar tersebut. Jangan bodoh mencari jodoh.  



Komentar

Anonim mengatakan…
Hehehhehe menarik lho postingannya :)
Catatan Harian mengatakan…
Terimakasih mas brili... Terimakasih utk ijinnya atas judul ini.

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau