Belajar melupakan...

Hari ini, setelah sekian lama tidak bersua, sang sakit gigi menyapaku juga... Bahkan malam ini dia menemaniku semalaman. Aku yang hampir saja lupa rupa dan rasanya, harus membiasakan diri lagi dengan kehadiran sakit yang sudah jadi sahabatku sejak kecil. Pertemuan kami lagi, diawali ketika aku melihat sebuah mobil box putih berisi peralatan sejenis perbengkelan seperti tang, bor, tang, skrup, dua minggu yang lalu. Pemandangan itu menimbulkan sedikit rasa rindu pada sakit gigi. Dengan sedikit rayuan dari kasir penjaga mobil, aku mengikuti rasa rindu sekaligus penasaran. Ternyata, dua minggu yang lalu belum waktunya aku bertemu sang sakit. Dokter  perempuan paruh baya yang bertugas hari itu menyarankan untuk kembali lagi sesuai jadwal mobil box perawatan gigi keliling datang ke kampusku. Akhirnya, tepat dua minggu setelah rasa penasaran menyeruak, aku kembali berada di mobil box itu. Hanya saja dokternya sudah berbeda. Agak tidak cocok dengan profesinya, menurutku, karena sejak aku bersahabat dengan sakit gigi, aku selalu bertemu dengan pria atau wanita yang giginya tak kalah kacaunya denganku. Aku sampai pernah berpikir, mungkin itu salah satu penyebab mereka mengambil profesi sebagai dokter gigi. Dua minggu lalu rasa penasaranku terpancing karena kasir penjaga. Sekarang, rasa penasaran itu muncul lagi, tapi bukan pada si sakit, tapi  kepada dokter tampan muda berpostur tinggi dan tegap bak model-model catwalk yang memperagakan busana pria dengan kancing baju terbuka (tiba-tiba saya ilfil...). 



Sepertinya Tuhan sedang bekerja agar tekadku semakin bulat untuk mencabut gigi. Buktinya, dia mengirimkan seorang malaikat pencabut gigi untukku #eaaa... 
Setelah berdiskusi tentang rasa sakit yang dulu selalu menyapaku (dengan muka iba tentunya), akhirnya sang dokter mengatakan bahwa ia akan segera memutuskan hubungan persahabatanku dengan yang namanya sakit gigi. Tentu saja, syaratnya ia akan mempertemukanku terlebih dahulu barang sejam dua jam dengan sakitnya, barulah aku aku bisa berkata "sakit gigi? sudah lupa tuh!". Singkat cerita, berlangsunglah kejadian yang agak sulit dijabarkan dan punya efek traumatis kalau diingat-ingat... tapi seru sebenarnya. Kejadian goncang-menggoncang sang dokter pada gigi geraham atasku berlangsung sejam sambil sang dokter membaca doa dan aku bersenandung lagu "makin dekat Tuhan... kepadakuuu..". Gigi geraham atas belakang yang memang punya kekuatan menancap 3x lipat daripada gigi-gigi yang lain menyusahkan sang dokter tapi membuatku senang karena bisa berlama-lama dengan si dokter. Dokter tampan itu sampai istirahat berkali-kali karena tangannya pegal. Aku sampai minta ditambah dosis anestesinya, karena tidak mempan. Setelah berjuang hingga mengeluarkan peluh dan bunyi-bunyian bak sedang di bengkel alat berat, akhirnya gigi dengan tiga akar panjang dan unik itu berhasil dicabut. Sang dokter terpesona dengan gigiku... daripada sang pemilik gigi.
Tapi, sama halnya dengan putus cinta, demi memutuskan hubungan tidak sehat yang sudah berlarut-larut, harus membayar harga dengan sakit yang tak tertahankan berjam-jam bahkan berhari-hari. Kabar baiknya, setelah mengalami sakit yang maha dasyat itu, tidak ada lagi sakit ketika sedang nikmat-nikmatnya makan daging, nyangkut dan harus dikorek-korek sampai bersih, dan yang paling menyeramkan adalah rasa was-was kalau mulut ini mengeluarkan aroma tak sedap karena sang gigi bolong (untungnya belom pernah ada yang ngaku..hehehe..). Alhasil sehari semalam ini, aku bercengkrama dengan sakit di dalam mulut.. Sakit untuk yang terakhir, harapku. Sakit sebagai salam perpisahan. Setelah ini, aku akan mulai lupa rasanya sakit gigi.

Lalu dengan tatapan penuh makna sebelum kami berpisah, sang dokter tampan berkata........ "Hmm.. gigi bolongnya tinggal satu deh..."    



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau