Bukan tentang coklat atau mawar

Semalam, aku terlambat pergi tidur. Tak disangka, aku terhisap dalam ketertarikan baruku akan dunia blog-ngeblog ini. Jadilah pagi ini aku merasa terlalu cepat untuk bangun karena belum puas menikmati mimpi. Pagi tetap pagi, tak menunggu aku sadar dan terbangun. Matahari berusaha menembus celah-celah kusen jendela dan pintu kamarku, berusaha menarik perhatian mataku untuk memulai persahabatan. Inilah waktunya mataku bekerja keras untuk terbuka dan menyapa sinar. Untukku, memulai segala sesuatu itu sulit. Tapi setelah langkah pertama, langkah kedua ketiga dan seterusnya terasa lebih ringan. Ibarat memutar kran air yang sedang terkunci rapat, setelah berhasil memutarnya, maka tinggal menikmati kucuran yang mengalir. Demikian pula tubuh. Barulah setelah berhasil menyeret tubuh dan menyiramnya dengan air yang bermalam di bak kamar mandi, mata ini menemukan jalan menuju hakikatnya. (halaah..)
Setelah kesadaranku terkumpul penuh, barulah aku sadar hari ini tepat tanggal 14 Februari.. hari di mana akan kujumpai wajah-wajah yang terhias rona kemerahan karena baru mendapat coklat, bunga, atau hanya sebuah ucapan yang memuaskan telinga. Namun di sudut dunia yang lain, di bawah langit yang sama, tetap ada wajah yang berhiaskan muram durjana. Alasannya beragam, tapi izinkan saya mengelompokkannya menjadi: 1. karena tidak mendapat coklat, bunga, bahkan kartu berisi katalimat yang sulit dicerna oleh akal sehat namun membuat hati haru biru; 2. karena rumahnya terbakar, keluarganya hilang, kaki atau tangannya buntung korban konflik massa dan peperangan. Di saat dunia di sekitarku sedang berwarna pink dan penuh harum mawar, dunia makro yang besar ini hampir tidak memberi ruang pada cinta dan kedamaian. Nyatanya, masih banyak pelecehan, ketidakadilan, kekerasan, bahkan peperangan. Bukan seperti bencana alam yang tidak bisa ditolak. Bukan seperti kematian pada umumnya yang datang tanpa direncanakan. Kemuraman mereka dirancang. Kemuraman mereka sasarannya. Kemuraman merekalah tujuannya.
Perang yang tidak bisa dihindari?
Ketidakadilan yang telah jadi rantai konsekuensi?
Konflik untuk menegakkan kebenaran?
Semurah itukah harga manusia? semudah itukah hidup yang dirancang sang Khalik menemukan ujungnya di tangan manusia?

Untungnya, cerita tentang St. Valentine mengingatkanku, perang harus dikalahkan oleh cinta. Saat para serdadu harus melupakan cinta pada keluarganya atau pasangannya, demi pergi mengambil nyawa manusia lain sebagai bukti cinta pada negara, St. Valentine justru menghamburkan cinta ke tengah kerumunan serdadu yang bau darah. Mungkin St. Valentine tidak berkhayal menghentikan perang. Tapi, tidak ada salahnya aku dan kau menyambung mimpi St. Valentine, melawan perang dengan cinta, membayar darah bukan dengan amarah, melainkan kasih mesra. Terlihat tidak mungkin? Bukankah cinta membuat semua menjadi irasional? Bukankah selama ini aku, kau, selalu berpengharapan dengan serangkai kata yang tidak terumus dalam alam pikir manusia? 

Wahai teman yang bermuram karena tak mendapat kiriman mawar merah berlumur coklat, cinta yang kau rasakan sudah lebih dari cukup dibanding mereka yang kehilangan cinta karena perang ego dan kuasa. Valentine-mu jauh lebih indah walau tanpa kekasih. Lebih dari cukup, dengan paling tidak tumpukan baju di lemari yang pasti kau pun tidak tahu jumlahnya.  Mengapa kau masih bermuram durjana? Baiklah... kalau kau tetap memilih untuk bermuram, sisipkanlah mereka yang bahkan tidak bisa menikmati tarikan nafas bebas. Sumbanglah sedikit muram-mu untuk mereka yang bahkan matahari pun tak berani menyapa mereka dalam ruang-ruang persembunyian. Bermuramlah agar valentine-mu bermakna... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau