Catatan harian setelah sekian lama


Malam ini, seperti biasa, langit malam memamerkan kelegaman hitamnya, yang sedikit tersamar oleh asap cemar. Hari ini hari Senin. Hari yang kutetapkan sebagai hari untuk berlabuh. Hari di mana aku berhenti sejenak dari kegiatan menggapai angan dan cita-cita. Hari yang bisa aku habiskan dengan melakukan hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan tujuan dan makna hidup. Oleh karena itu, aku bersama sahabatku mengisi hari dengan memanjakan diri di 'rumah cantik' dilayani dengan paket lengkap dari ujung kaki sampai ujung rambut. Benar-benar tidak ada hubungannya dengan keberlangsungan hidup, tapi aku senang. Ya, karena memang itu tujuannya: untuk memberi kesenangan sesaat. Anggaplah sebagai fatamorgana di tengah perziarahan panjang di gurun kehidupan ini. hahaha...

Sesampai di tempat aku meletakkan kepala, kertas-kertas yang kelihatan tak berharga tapi sebenarnya berharga memanggil-manggilku. Mereka sepertinya lupa hari ini hari Senin. 
Langsung saja aku menyalakan tv, melengkapi hari dengan kegiatan tak bermanfaat lainnya. Menyuguhi diri dengan tontonan-tontonan tak bermutu yang hanya memancing pertanyaan-pertanyaan tak kalah bermutunya, "kenapa ga ngelawan aja sih?" atau "ibu macam apa yang ga mau ngurus bayinya sendiri? Mesya sableng!"
Untung aku tak terbuai lama dengan tontonan pembunuh waktu bagi ibu-ibu rumah tangga. Segera aku membersihkan diri untuk bersiap menikmati kasur, bantal dan boneka buaya bernama Koko, hadiah valentine's day pertama dan terakhir dari kekasihku yang ku cinta. (cat: sekarang dia sudah bertobat dan tidak lagi merayakan valentine's day) :p 

 
Tapi ternyata, sedalam apapun aku tanamkan dalam kepalaku bahwa hari ini hari senin, hatiku tidak sanggup berkata tidak pada tugas-tugas menumpuk. Akhirnya aku mengerjakan sedikit. Hanya demi hatiku. Demi hatiku agar tidak dihujam rasa bersalah. 
Setelah hatiku puas, aku beralih ke dunia jejaring sosial. Dunia di mana kita merasa sudah memiliki ratusan bahkan ribuan teman, padahal kenyataannya kita sedang sendiri di ruangan sempit sambil menatap layar datar. Kalaupun tidak sendiri, dunia dengan ratusan atau ribuan teman ini membuat kita lupa ada orang di sekeliling kita. Menggerutui diri sendiri.

Demi hatiku yang tidak terima dibilang bersosialisasi palsu, ku sapa orang-orang di daftar nama teman yang benar-benar aku kenal. Orang-orang yang aku kenal selama kurang lebih enam tahun ini. Orang-orang yang ku sebut sahabat.

Aku mulai memilih salah satu nama dan memainkan jari-jariku menyapanya, menanyakan kabar dia dan mimpinya. Pembicaraan bergulir tentang dilema antara harapan memberi diri dan mengabdi pada satu lembaga yang disebut gereja atau keinginan untuk mengisi diri lebih banyak lagi dengan melanjutkan studi. Keduanya tidak konfrontatif, menurutku, selama harapan yang satu tidak lantas memupuskan harapan yang lain. Ini masalah siap atau tidak siap. Tapi, 'tidak siap', lagi-lagi menurutku, bukan persoalan memasrahkan diri menunggu kesiapan datang, melainkan proses mengupas kesiapan dan keyakinan yang sudah ada untuk mencari dan menemukan esensi dari langkah besar itu. Aku, jika ditanya kenapa tidak memilih memberi diri dan mengabdi pada satu lembaga gereja, akan menjawab, "Tidak ada alasan yang cukup kuat bagiku untuk memberi diri dan melayani Tuhan dalam satu lembaga dengan menggunakan jubah kebesaran, karena bagiku tanpa menggunakan jubah kebesaran itu pun aku bisa melayani Tuhan." Desakan atau pujian berbagai pihak tidak bisa kujadikan alasan kuat, karena semua itu hanya akan membuatku menjalaninya sebagai jalan untuk memuaskan orang lain, bukan Tuhan. Aku masih membiarkan diriku dibawa oleh hatiku mengarungi sungai kehidupan ini, dengan menghiraukan desakan, tuntutan, cibiran dan pujian. Hatiku hanya ingin merasa berguna. Tidak untuk ratusan atau ribuan orang yang tujuh puluh persennya tidak sanggup kusapa secara personal. Hanya untuk sekampung yang berisi lima kepala keluarga saja sudah cukup. 

Lalu, aku beralih ke salah satu nama yang kupikir sudah banyak hal yang kulewatkan tentang dia. Keadaan baiknya saat ini pasti dicapai melalui proses jatuh bangun yang tidak sedikit. Ternyata, dugaanku tidak meleset terlalu jauh. Aku menemukan sahabat sepenanggungan. Perbedaan, penolakan, intimidasi dari diri sendiri, berjuang atau mundur adalah kata-kata kunci yang sudah memiliki rumahnya sendiri dalam hati dan kepala kami. Kami sepakat untuk belajar berjalan di atas air. Mustahil tapi akan kami coba, untuk mengetahui seberapa kuat 'iman' kami. Hahaha...

Jam menunjukkan pukul 23.45. Aku ingat ada sahabatku yang akan berulang tahun. Aku menyapanya. Aku menemaninya menutup usia lama dengan mensyukuri kehadirannya di tengah 'dunia mikro' dalam 'dunia makro'. Aku meyakini bahwa sekalipun secara usia kita bertambah, tapi sebenarnya ulang tahun adalah peringatan akan berkurangnya batas waktu perziarahan kita. Kita semakin mendekati ujung. Lalu, apa yang kita ingin dunia kenang tentang kehadiran kita? Hidup juga seperti lautan dan kita adalah perahu. Ulang tahun seperti jadwal berlabuh untuk menyetok perbekalan perjalanan selanjutnya. Kata Paulo Coelho, novelis favoritku, perahu memang aman jika sedang berlabuh, tapi tujuan perahu diciptakan ialah untuk berlayar bukan? Jadi, hanya dengan berlayar perahu itu menjadi berguna dan bermakna... 

Beberapa hari lagi, kekasihku juga akan berulang tahun. Ah, kalau dia yang berulang tahun, aku tak perlu repot seperti apa yang sering dilakukan kekasih-kekasih lain yang baik hati dan penuh perhatian pada umumnya. Dia merasa tidak ada yang spesial dengan ulang tahun. Menurutnya, tidak penting kuantitas, yang penting kualitas. Yang perlu dirayakan adalah penambahan kualitas, bukan kuantitas. Hadiah terakhirku untuknya pun dia lupa. Hahaha..
Banyak persamaan yang mengikat sekaligus memecah-belah kami. Pencapaian-pencapaian secara angka menurut kami tidaklah penting. Kami sangat mengagungkan proses. Akan jadi apa kami ditentukan oleh proses. Serapih apapun kami menyusun rencana, tapi proseslah yang akan membawa kami pada titik yang mungkin berbeda dari perencanaan. 
Itulah mengapa, kami tidak terlalu suka menyusun rencana. Kami lebih senang menjawab pertanyaan dengan "Lihat nanti ya.." Ada pengharapan sekaligus penyerahan di dalam sebaris kalimat penuh ketidak-pastian itu. Hatiku puas. 


(Catatan pinggir:  ditulis ulang setelah setengah dari cerita yg sudah dibuat seindah mungkin hilang tak berbekas. Tapi ini lebih original). ;) 
Hari pertama di minggu pertama bulan Agustus tahun dua ribu sebelas. 

Sudah  dipublish di http://www.facebook.com/notes/irmanda-yosefien-saroinsong/catatan-harian-setelah-sekian-lama/10150275660193050

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau