Percakapan bersama sahabat


Hari ketiga di bulan ke delapan tahun dua ribu sebelas.

Seharian ini aku berusaha merayu tubuhku untuk mengikuti kata hatiku. menyelesaikan tugas-tugas yang jika tidak selesai akan membunuhku perlahan-lahan. Lebih lagi, salah satu di antara sekian banyak tugas itu ada yang benar-benar sudah mematikan rasa bersalahku. Hanya memancing gerutuan dan makian.
Hari pun bergulir dan tiba saatnya berbuka puasa. Adzan di sekitar tempat tinggalku menjadi alarm untuk segera bersiap menuju ke tempatku bergumul dan berjuang.

Sesampaiku di sana, aku bertemu seorang teman. Kami berbicara seputar selebrasi. Selebrasi yang berkaitan dengan apresiasi. Dalam bingkai apresiasi, aku sependapat dengannya, bahwa selebrasi perlu. Tetapi, perbedaan pandang kami meruncing ketika dia berkata bahwa tanpa selebrasi yang berisi apresiasi, kinerja seseorang akan menurun dan lama-lama bisa padam. Dengan nada mengancam. Demi sesuatu yang entah apa namanya --yang jelas bukan demi hatiku-- aku membiarkan diriku mendengar lebih banyak. Memberi telinga pada sindiran tajam yang ditujukan kepada petinggi-petinggi lembaga. Aku mencoba mengerti mengapa hujatan semacam itu keluar tanpa dipikir. Tak lain tak bukan, merasa tidak dipedulikan yang berindikasi pada penyepelehan. Aku, yang sedang berusaha memahaminya, tiba-tiba teringat cerita seekor anjing yang berhasil menyelamatkan seorang anak dari kebakaran, sampai hampir seluruh tubuhnya terluka. Tapi ia dengan rela pergi tanpa menyalak meninggalkan kerumunan orang yang sedang mencari sesosok pahlawan untuk dipuja. 


Teman, daripada kita sibuk memikirkan apa yang tidak kita terima, maukah kau bersamaku memikirkan apa yang bisa kita berikan? Minimal, supaya kita tidak menjadi sama seperti mereka yang kau gambarkan. Atau apakah kau terlalu lelah karena sudah memberikan cukup banyak (setidaknya menurutmu)? Salah satu iklan produk di tv selama bulan puasa ini berkata, "Selalu ada pengorbanan di balik sebuah keikhlasan" (aku hanya suka kalimatnya, bukan produknya). Maukah kau sedikit lagi bertahan dan berkorban untuk mengikhlaskan apa yang seharusnya kau terima tapi lantas tidak sedikitpun? Bukan demi aku, bukan demi mereka. Tapi demi hatimu yang aku percaya masih penuh dengan belas kasih.    

Aku membagi perhatian kepada teman yang lain yang terlihat lelah tapi senang. Memang sepekan ini, aku dikelilingi orang-orang yang sedang dipilih oleh cinta dan memutuskan untuk mengikuti permainannya. Aku percaya, jatuh cinta akan menghasilkan hormon-hormon yang selalu membuat bahagia, selelah apapun tubuh fana menanti kepastian. Senang melihat mereka begitu bersemangat mengikuti suara hatinya. Senang mendengar mereka mulai belajar menikmati proses yang entah akan di mana berakhirnya. Senang menyadari bahwa bukan hanya aku yang memiliki ketakutan pada banyak hal. Senang karena pada akhirnya kami sepakat bahwa bahagia ternyata bukan hanya mungkin menjadi pilihan, tapi sangat bisa menjadi keputusan. Seuntai baris kalimat menutup pembicaraan, "Bersama atau tidak bersamanya, aku bahagia. Karena melaluinya aku mengenal bentuk kasih Allah yang lain. Itu sudah cukup."

Aku pun merenda doa dalam hati, "Tuhan, baik atau buruk akhirnya, aku bahagia ditempatkan di sini, dalam dunia mikro ini. Karena melalui semua proses di tempat ini, bersama dengan orang-orang ini, aku dibentuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya." 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persinggahan yang berkelanjutan

I love you, but...

Tanah dan Hujan di saat Kemarau